Sosial Media
0
HEADLINE NEWS
    Iklan display
    Home Denny JA Headline LSI Denny JA Nasional Presiden Soeharto Survei

    Survei LSI Denny JA: Soeharto Presiden Paling Disukai!

    "Survei LSI Denny JA menempatkan Soeharto sebagai presiden paling disukai publik. Nostalgia masa Orde Baru disebut jadi penyebab utamanya."

    11 min read

    LSI Denny JA: Pak Harto Presiden yang Paling Disukai

    AMANAH INDONESIA, JAKARTA – Nama Soeharto alias Pak Harto kembali ramai diperbincangkan. Dalam survei nasional terbaru Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA, mantan presiden kedua RI itu dinobatkan sebagai presiden paling disukai publik di antara semua presiden yang sudah tidak menjabat.

    Survei yang digelar pada Oktober 2025 melibatkan 1.200 responden di seluruh provinsi Indonesia dengan metode multi-stage random sampling dan margin of error ±2,9 persen.

    Hasilnya mengejutkan: Soeharto menempati posisi puncak dengan tingkat kesukaan 29 persen, disusul Joko Widodo (26,6 persen) dan Soekarno (15,1 persen). 

    Di bawahnya, ada Susilo Bambang Yudhoyono (14,2 persen), Gus Dur dan B.J. Habibie (masing-masing 5 persen), serta Megawati Soekarnoputri (1,2 persen). 

    Sebanyak 3,9 persen responden memilih tidak menjawab.

    “Data ini sudah kami periksa berulang kali,” ujar Denny JA, pendiri LSI Denny JA.

    Semua tabulasi dan metodologi benar. Inilah hasil ilmiah yang menggambarkan persepsi emosional bangsa hari ini terhadap para presiden Indonesia.

    Melihat Soeharto dengan “Kacamata Merah Muda”

    Menurut Denny, temuan ini erat kaitannya dengan fenomena psikologis rosy retrospection bias — atau yang ia sebut sebagai “kacamata merah muda.”


    Konsep ini menjelaskan kecenderungan manusia untuk mengingat masa lalu lebih indah daripada kenyataan yang sebenarnya.

    “Seiring waktu, yang pahit memudar, yang manis bertahan,” kata Denny. Bangsa ini tampaknya juga mengenakan kacamata merah muda ketika menilai Pak Harto.

    Publik kini lebih mengingat masa-masa harga stabil, pembangunan desa, dan keteraturan sosial, dibandingkan sisi otoriter dan represi politik yang dulu banyak dikritik.

    LSI menilai hal ini sejalan dengan teori psikologi Daniel Kahneman yang menyebut bahwa otak manusia cenderung menyaring memori negatif seiring waktu.

    Mengapa Soeharto Masih Disukai Publik?

    Menurut analisis LSI Denny JA, ada tiga faktor utama yang membuat Soeharto tetap menempati posisi khusus di hati masyarakat:

    1. Ingatan Konkret dan Nyata.
      “Sekolah, irigasi, pasar, dan infrastruktur era Soeharto masih bisa disentuh hingga kini. Masyarakat menilai hasil, bukan wacana,” ujar Denny.

    2. Citra Paternal dan Stabilitas.
      Sosok Soeharto dipersepsikan sebagai figur ayah bangsa — tegas, protektif, dan menenangkan. Di tengah dunia modern yang serba gaduh, figur semacam itu memberi rasa aman.

    3. Keteraturan Ekonomi dan Sosial.
      Dalam kondisi ekonomi yang penuh ketidakpastian, masyarakat merindukan masa ketika harga terasa stabil dan hidup lebih tertata. “Ingatan tentang keteraturan menjadi semacam selimut emosional bangsa,” tambah Denny.

    Antara Jasa dan Dosa

    Muncul pula pertanyaan: apakah Soeharto layak diberi gelar Pahlawan Nasional?
    Denny memilih berhati-hati.

    “Pak Harto punya jasa besar, menstabilkan ekonomi pasca-hiperinflasi, memperkuat pembangunan, dan mengentaskan jutaan orang dari kemiskinan. Tapi sejarah juga mencatat sisi gelapnya: represi politik, pelanggaran HAM, dan praktik KKN yang mengakar,” jelasnya.

    Ia menekankan bahwa penghargaan semacam itu bukan berarti memutihkan kesalahan, melainkan pengakuan atas paradoks manusia. “Kita bisa berterima kasih atas jembatan yang menolong banyak orang menyeberang, sambil tetap mencatat retakannya di hilir sejarah,” ujar Denny dengan nada reflektif.

    Menilai Sejarah dengan Jujur

    Denny menutup refleksinya dengan pesan mendalam. “Ketika kita menilai Soeharto tanpa kacamata merah muda, dunia tampak lebih kontras: terang dan gelap berdampingan sebagaimana adanya,” ujarnya.

    Ia bukan malaikat yang tak pernah salah, tetapi juga bukan bayangan yang tak punya jasa.”

    Menurutnya, bangsa yang besar bukanlah bangsa tanpa dosa, melainkan bangsa yang mampu menatap masa lalunya dengan jujur — mengakui luka, menghargai jasa, dan melangkah dengan kebijaksanaan sejarah.

    “Sejarah bukan album potret berisi gambar terbaik,” pungkas Denny JA. Ia adalah film panjang: cahaya dan bayangan, tawa dan tangis, salah dan betul, berkejaran di layar yang sama.




    Additional JS