Korupsi Kuota Haji, PBNU Angkat Bicara dan Apresiasi KPK
“Terima kasih kepada KPK melalui Pelaksana Tugas Deputi Penindakan dan Eksekusi Asep Guntur Rahayu yang telah memberikan pernyataan cukup jelas dan bisa dipahami dengan baik, yakni menyatakan bahwa yang dipanggil adalah orang per orang, bukan organisasi,” ujar Saifullah di Jakarta, Jumat (19/9/2025).
Menurutnya, penjelasan KPK tersebut sekaligus meluruskan spekulasi publik yang sempat menyeret nama PBNU.
“Kami berterima kasih karena KPK telah memberikan pernyataan yang jelas tentang upaya membongkar praktik yang melanggar hukum kepada mereka yang bersalah. PBNU secara organisasi tidak terlibat. Kami mendukung dan mengapresiasi KPK,” tegasnya.
Saifullah menambahkan, sikap PBNU sejalan dengan arahan Presiden Prabowo Subianto yang mendukung penuh agenda pemberantasan korupsi.
KPK Tegaskan Fokus pada Individu
KPK sebelumnya menekankan tidak menargetkan organisasi keagamaan seperti PBNU, melainkan personal yang juga berdinas di Kemenag.
“Walaupun yang bersangkutan juga menjadi anggota atau pengurus di organisasi keagamaan, tetapi yang jelas adalah karena yang bersangkutan berdinas atau bertugas di Kementerian Agama,” jelas Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, di Gedung Merah Putih KPK, Kamis (18/9/2025).
Ia menegaskan bahwa penelusuran aliran dana dalam kasus kuota haji mengikuti individu.
“Jadi, kami tidak melakukan atau menargetkan organisasinya, tetapi uangnya itu lari karena mengikuti orangnya. Orangnya ada di mana, bekerja di mana, nah di situ kami lihat,” ujarnya.
Kerugian Negara Capai Rp1 Triliun
Kasus dugaan korupsi kuota haji ini resmi disidik KPK pada 9 Agustus 2025, usai memeriksa mantan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas.
Dua hari kemudian, KPK mengumumkan estimasi kerugian negara yang ditaksir mencapai lebih dari Rp1 triliun. Lembaga itu juga mencegah tiga orang bepergian ke luar negeri, termasuk Yaqut.
Tak hanya KPK, Pansus Angket Haji DPR RI turut menemukan kejanggalan dalam pelaksanaan haji 2024, terutama terkait pembagian kuota tambahan 20 ribu jemaah dengan skema 50:50 untuk haji reguler dan haji khusus.
Padahal, Pasal 64 UU Nomor 8 Tahun 2019 menegaskan kuota haji khusus hanya 8 persen, sementara 92 persen sisanya untuk haji reguler.