Sosial Media
0
HEADLINE NEWS
    Home Internasional

    Ekonomi Global Kini Efisien Tapi Membungkam

    2 min read

    Donald Trump


    AMANAH INDONESIA, JAKARTA --Ekonom Universitas Andalas (Unand), Syafrudin Karimi, memaparkan sudut pandang tajam mengenai kebijakan tarif impor yang diterapkan Donald Trump.

    Menurutnya, kebijakan ekonomi tersebut tak sekadar menyangkut defisit perdagangan atau angka-angka neraca ekspor-impor, tetapi merupakan bagian dari strategi kekuasaan global yang jauh lebih dalam dan sistemik.

    "Kebijakan tarif Trump bukan sekadar soal neraca perdagangan, melainkan mencerminkan arsitektur kekuasaan global yang memungkinkan kekejaman tetap berlangsung selama angka ekonomi terlihat 'stabil'," kata Syafrudin di Padang, Senin.

    Ia menilai bahwa tarif tidak lagi netral. Instrumen ekonomi ini, katanya, digunakan untuk mengalihkan perhatian global dari isu-isu kemanusiaan besar seperti krisis di Gaza, dan pada saat yang sama memperkuat posisi geopolitik negara-negara adidaya.

    "Kebijakan tarif Trump dan kebungkaman terhadap Gaza adalah dua wajah dari kekuatan yang sama yakni kekuasaan yang menekan lewat ekonomi dan membungkam lewat ketakutan."

    Syafrudin mencatat bahwa selama dua tahun terakhir, semakin sedikit negara yang berani mengecam kekerasan sistemik di Gaza. Salah satu faktor penyebabnya adalah takut terhadap pembalasan ekonomi dari negara kuat, khususnya Amerika Serikat.

    Ketika perdagangan dan bantuan luar negeri berubah menjadi alat kontrol, maka solidaritas kemanusiaan pun disandera oleh logika untung rugi, lanjutnya. Hal itu terbukti dari sikap negara-negara yang bergantung pada ekspor ke AS atau bantuan militer, yang memilih diam di tengah tragedi kemanusiaan.

    "Inilah wajah ekonomi global hari ini yakni efisien, tapi membungkam."

    Syafrudin juga menyampaikan bahwa perjuangan menolak tarif sepihak dan membela Gaza bukan dua hal yang terpisah, tetapi satu perjuangan moral yang sama.

    "Sudah saatnya melihat ekonomi bukan hanya soal angka, tetapi sebagai ruang moral."

    Dampak dari kebijakan proteksionis AS terhadap Indonesia cukup signifikan. Produk tekstil, elektronik, dan barang-barang manufaktur dikenai tarif tinggi yang berpotensi menyebabkan efek domino seperti naiknya pengangguran dan kemiskinan, serta turunnya konsumsi rumah tangga.

    Namun, Indonesia juga menghadapi dilema moral: di satu sisi harus menjaga stabilitas ekonomi, di sisi lain ingin tetap lantang membela Palestina.

    Untuk itu, Syafrudin mengusulkan agar Indonesia:

    • Melakukan diversifikasi pasar ekspor, khususnya ke Timur Tengah, Afrika, dan Asia Selatan.

    • Mengembangkan diplomasi perdagangan berbasis nilai-nilai kemanusiaan.

    • Mendorong kebijakan fiskal ekspansif di sektor padat karya.

    • Memperkuat industri dalam negeri dan

    • Menginisiasi forum internasional untuk membahas etika perdagangan global sebagai langkah menyeimbangkan logika pasar dengan moralitas.

    Additional JS