Sosial Media
0
HEADLINE NEWS
    Home Denny JA LSI Denny JA Nasional

    LSI Denny JA: Indeks Tata Kelola Pemerintahan RI di Bawah Singapura, Jepang, dan Korea Selatan

    2 min read


    LSI Denny JA: Indeks Tata Kelola Pemerintahan RI di Bawah Singapura, Jepang, dan Korea Selatan

    AMANAH INDONESIA, JAKARTA --Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA menilai keberhasilan sejumlah program prioritas Presiden Terpilih Prabowo Subianto memerlukan dukungan tata kelola pemerintahan yang lebih baik. Namun, hasil survei LSI menunjukkan bahwa tata kelola Indonesia saat ini masih tertinggal dibandingkan sejumlah negara di kawasan Asia.

    Dalam konferensi pers yang digelar di Jakarta, Senin (10/3/2025), Pendiri LSI Denny JA menyampaikan, Indeks Tata Kelola Pemerintahan atau Good Governance Index (GGI) Indonesia masih berada di level 53,17. Angka ini jauh tertinggal dari Singapura yang meraih skor 87,23, Jepang 84,11, dan Korea Selatan 79,44.

    “Tata kelola pemerintahan yang baik menjadi syarat utama bagi keberhasilan program besar Presiden Prabowo, mulai dari pembangunan Danantara, 70.000 Koperasi Merah Putih, hingga program makan bergizi gratis dan target pertumbuhan ekonomi 8 persen,” ujar Denny.

    Denny menjelaskan, GGI yang dikembangkan LSI merupakan instrumen pengukuran kualitas tata kelola pemerintahan secara komprehensif. Indeks ini merangkum enam dimensi utama, yakni efektivitas pemerintahan (25 persen), pemberantasan korupsi (20 persen), digitalisasi pemerintahan (15 persen), demokrasi (15 persen), pembangunan manusia (15 persen), dan keberlanjutan lingkungan (10 persen).

    “GGI ini kami desain untuk menjawab tantangan era digital dan kecerdasan buatan (AI), sekaligus merespons isu populisme politik dan krisis iklim,” tutur Denny.

    Lebih lanjut, GGI LSI menyatukan berbagai indeks global, seperti Government Effectiveness Index, Corruption Perceptions Index, Democracy Index, Human Development Index, Environmental Performance Index, hingga E-Government Development Index, dalam satu kerangka ukur terpadu.

    Menurut Denny, salah satu tantangan terbesar Indonesia adalah pemberantasan korupsi yang dinilai belum optimal. Hal ini terlihat dari sejumlah kasus besar yang muncul dalam beberapa waktu terakhir, seperti kasus dugaan korupsi Pertamax oplosan yang merugikan negara Rp 193,7 triliun, serta dugaan korupsi pengelolaan 109 ton emas di PT Antam Tbk.

    Selain itu, kasus tata niaga komoditas timah dengan dugaan kerugian Rp 271,07 triliun dalam periode 2015–2022 turut memperburuk citra tata kelola pemerintahan.

    “Tanpa komitmen pemberantasan korupsi yang tegas dan berkelanjutan, target pertumbuhan ekonomi 8 persen yang diusung Presiden Prabowo akan sulit tercapai,” kata Denny.

    Ia juga menyoroti efektivitas birokrasi Indonesia yang dinilai kalah jauh dibandingkan negara-negara tetangga seperti Singapura, Jepang, dan Korea Selatan.

    “Singapura berhasil membangun tata kelola yang efisien dengan birokrasi yang cepat dan transparan. Mereka menerapkan kebijakan tanpa toleransi terhadap korupsi sejak masa kepemimpinan Lee Kuan Yew,” ujar Denny.

    Ia juga mencontohkan India yang sukses dengan digitalisasi identitas melalui program Aadhaar, serta Korea Selatan yang berfokus pada pembangunan manusia lewat revolusi pendidikan dan kemajuan teknologi.

    “GGI bukan sekadar alat ukur, melainkan peta jalan untuk memperbaiki tata kelola pemerintahan Indonesia,” katanya.

    Dalam jangka panjang, LSI berencana melakukan pengukuran GGI setiap tahun, tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di lebih dari 150 negara di dunia. Denny berharap, GGI menjadi salah satu tolok ukur global dalam menilai kualitas pemerintahan suatu negara.

    “Indonesia saat ini berada di persimpangan sejarah,” ujar Denny, “Apakah akan memperbaiki tata kelola secara serius, atau kembali terjebak dalam lingkaran stagnasi, semua tergantung langkah strategis pemerintah hari ini.”

    Additional JS