Sosial Media
0
HEADLINE NEWS
    Home Denny JA

    Teori Denny JA: Transformasi Agama di Era AI

    3 min read

    Teori Denny JA: Transformasi Agama di Era AI
    AMANAH INDONESIA,JAKARTA  – Perkembangan kecerdasan buatan (AI) telah membawa perubahan besar dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam cara manusia memahami dan menjalankan ajaran agama. AI tidak hanya mempercepat akses terhadap informasi keagamaan, tetapi juga menggeser otoritas tradisional dalam tafsir agama.

    Dalam 10 hingga 20 tahun ke depan, muncul pertanyaan besar: apakah peran pemuka agama akan tergeser oleh AI? Apakah agama akan semakin bersifat individual atau tetap mempertahankan peran komunitasnya?

    Denny JA menawarkan perspektif baru dalam menjawab pertanyaan tersebut. Ia memperkenalkan teori yang menghubungkan sosiologi agama klasik dengan revolusi AI. Konsep ini oleh Budhy Munawar-Rahman disebut sebagai “Teori Denny JA tentang Agama dan Spiritualitas di Era AI.”

    Kini, teori ini mulai diajarkan di berbagai perguruan tinggi negeri dan swasta di Indonesia. Sejumlah mata kuliah dalam disiplin sosiologi agama dan filsafat telah memasukkan teori Denny JA sebagai bagian dari kurikulumnya.

    Melengkapi Pemikiran Klasik

    Denny JA memperluas kajian para pemikir besar seperti Edward Burnett Tylor, Karl Marx, Émile Durkheim, dan Max Weber. Ia menambahkan dimensi baru dalam sosiologi agama dengan mengkaji bagaimana AI mempengaruhi akses, interpretasi, dan peran sosial agama di era digital.

    Menurut Sekretaris Jenderal Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) Jakarta, Anick HT, teori ini tidak menggantikan sosiologi agama klasik, tetapi justru memperkaya pemahaman tentang interaksi agama dengan perkembangan zaman.

    “Agama selalu menjadi fenomena sosial yang dinamis. Dengan hadirnya AI, kita menyaksikan perubahan besar dalam akses terhadap informasi, interpretasi teks suci, dan peran sosial agama dalam masyarakat,” ujar Anick.

    Pergeseran Otoritas Keagamaan

    Salah satu aspek utama dalam Teori Denny JA adalah pergeseran otoritas keagamaan akibat kehadiran AI dan dunia digital:

    • Dulu, pemahaman agama dikendalikan oleh pemuka agama dan institusi keagamaan. Tafsir agama diwariskan secara hierarkis melalui ulama, pendeta, atau guru spiritual.

    • Kini, AI memungkinkan siapa pun mengakses berbagai tafsir dari banyak tradisi hanya dalam hitungan detik. Teknologi ini juga dapat menerjemahkan teks ke dalam berbagai bahasa serta membandingkan konteks sejarah dan sosial dalam ajaran agama.

    “Pemuka agama tetap memiliki peran dalam membimbing komunitas, tetapi kini bukan lagi satu-satunya sumber rujukan,” tambah Anick.

    Namun, keterbukaan akses ini juga membawa tantangan baru bagi komunitas keagamaan, di antaranya:

    1. Bagaimana AI dapat digunakan secara bertanggung jawab dalam konteks keagamaan?

    2. Bagaimana memastikan keterbukaan informasi tidak mengarah pada disinformasi atau penyederhanaan pemahaman agama?

    Agama sebagai Tradisi Kultural dan Ruang Refleksi

    Denny JA juga menyoroti agama sebagai tradisi kultural yang terus berkembang. Ia mencontohkan bagaimana perayaan Natal kini tidak hanya dirayakan oleh umat Kristiani, tetapi juga menjadi festival budaya di berbagai belahan dunia. Yoga, yang berasal dari tradisi Hindu, kini menjadi bagian dari gaya hidup global.

    Dalam konteks ini, AI membuka peluang eksplorasi lintas budaya serta refleksi terhadap nilai-nilai agama. Namun, muncul pertanyaan krusial:

    • Apakah keterbukaan ini memperkaya pemahaman agama atau justru membuatnya lebih individualistik?

    • Apakah AI dapat menjaga substansi spiritualitas manusia atau hanya mengubahnya menjadi konsumsi informasi digital semata?

    Dampak AI terhadap Praktik Keagamaan

    Perubahan akibat AI terhadap agama telah terjadi saat ini. Beberapa contoh konkret di berbagai negara antara lain:

    • Chatbot AI untuk tafsir agama: Di Arab Saudi, AI mulai digunakan untuk menjawab pertanyaan seputar Islam berdasarkan kitab-kitab klasik.

    • AI dalam penerjemahan kitab suci: Teknologi ini memungkinkan akses lebih luas terhadap teks keagamaan dalam berbagai bahasa, mempercepat penyebaran pemahaman agama secara global.

    • Asisten AI untuk ritual keagamaan: Di Jepang, beberapa kuil Buddha menggunakan robot untuk membacakan doa bagi para jamaah.

    • AI dalam prediksi tren keagamaan: Algoritma AI mulai digunakan untuk menganalisis pola perubahan keyakinan dan praktik spiritual dalam masyarakat global.

    Teori Denny JA melengkapi sosiologi agama klasik dengan memberikan perspektif baru mengenai agama di era AI. Teknologi tidak akan menggantikan esensi pengalaman spiritual, tetapi akan mengubah cara manusia berinteraksi dengan agama dan mencari makna hidup.

    “AI mengubah posisi otoritas agama, tetapi tidak menggantikan pengalaman spiritual. Agama akan bertahan, beradaptasi, dan menemukan cara baru untuk memberikan makna bagi kehidupan manusia,” tutup Anick. (*)

    Additional JS