Pemikiran Denny JA Soal Agama di Era AI Masuk Kurikulum Perguruan Tinggi
![]() |
Teori Denny JA tentang Agama di Era AI Mulai Diajarkan di Kampus |
Materi ini akan diajarkan baik sebagai mata kuliah mandiri maupun sebagai bagian dari mata kuliah yang sudah ada.
Ketua Pelaksana Esoterika Fellowship Program (EFP), Ahmad Gaus AF, menyebutkan bahwa pengintegrasian pemikiran ini bertujuan memberikan perspektif baru kepada mahasiswa tentang peran agama dan spiritualitas dalam lanskap teknologi yang terus berkembang.
Menurut Gaus, Denny JA menyoroti bahwa di era AI, akses informasi mengenai agama menjadi lebih mudah dan cepat.
Kondisi ini berpotensi menggeser peran tradisional ulama, pendeta, dan biksu sebagai sumber utama pengetahuan agama.
"AI memungkinkan siapa pun mengakses sejarah agama, berbagai tafsir alternatif, hingga kritik terhadap doktrin tanpa perlu perantara otoritas keagamaan," kata Gaus.
Situasi ini, lanjutnya, tidak hanya mendemokratisasi pengetahuan tetapi juga menantang pemuka agama untuk lebih reflektif dibandingkan dogmatis.
Tujuh Prinsip Agama di Era AI
Dalam pemikirannya, Denny JA mengemukakan tujuh prinsip utama mengenai agama dan spiritualitas di era AI:
Keyakinan Agama Tidak Berkorelasi dengan Kualitas Kehidupan Bernegara. Negara yang religius tidak serta-merta lebih bahagia atau bebas korupsi. Negara-negara Nordik yang cenderung sekuler justru memiliki indeks kebahagiaan dan kebebasan dari korupsi tertinggi di dunia.
Agama Bertahan Bukan Karena Kebenaran Faktual, tetapi Makna Simbolis
Narasi agama sering kali bertentangan secara historis, tetapi tetap bertahan karena memberikan harapan dan identitas sosial.Agama Bukan Lagi Satu-Satunya Panduan Hidup Bahagia
Ilmu pengetahuan modern, seperti psikologi positif, menawarkan jalan alternatif menuju kebahagiaan melalui hubungan sosial yang hangat, berpikir positif, dan tujuan hidup.Era AI Mengubah Peran Otoritas Agama
Dengan akses informasi yang luas, individu menjadi lebih mandiri dalam menafsirkan iman, mengurangi ketergantungan pada otoritas keagamaan tradisional.Agama Semakin Menjadi Warisan Kultural Milik Bersama
Perayaan agama kini dirayakan secara sosial oleh semua orang, bukan hanya penganutnya. Meditasi, misalnya, yang berasal dari tradisi Hindu dan Buddha, kini dipraktikkan lintas agama.Tafsir Agama yang Bertahan adalah yang Selaras dengan Hak Asasi Manusia
Sejarah mencatat bahwa tafsir agama yang mendukung kesetaraan gender dan hak asasi manusia lebih cenderung bertahan dibandingkan tafsir yang membatasi kebebasan individu.Komunitas adalah Kunci Sosialisasi Gagasan Spiritual Baru
Gagasan spiritual hanya akan bertahan jika didukung oleh komunitas yang menghidupkannya dan merayakan nilai-nilai universal serta inklusif.
AI, Teknologi, dan Masa Depan Spiritualitas
Ahmad Gaus AF mengakui bahwa pemikiran Denny JA ini menuai kritik. Sebagian pihak menilai gagasannya terlalu menekankan rasionalitas dan perubahan sosial, tanpa cukup mempertimbangkan dimensi transendental agama.
"Tidak semua komunitas menerima AI sebagai otoritas baru dalam spiritualitas. Tafsir agama juga tidak selalu berubah karena tekanan sosial, tetapi sering kali karena dinamika internal keimanan dan tradisi," ujarnya.
Namun, Denny JA, menurut Gaus, tidak bermaksud menggantikan agama dengan AI, melainkan ingin menyoroti bagaimana akses informasi mengubah pola keimanan.
Di biara Tibet, misalnya, AI membantu para biksu memahami makna tersembunyi dalam teks kuno. Sementara itu, di Kuil Kodaiji, Kyoto, Jepang, sebuah robot pendeta bernama Mindar digunakan untuk menyampaikan khotbah Buddha guna menarik perhatian generasi muda.
"Teknologi tidak menggantikan doa, tetapi menjadi lentera baru bagi pencarian batin. AI bukan ancaman bagi spiritualitas, melainkan jembatan menuju pemahaman yang lebih dalam dan universal," kata Gaus.
Ia berharap, melalui kurikulum ini, mahasiswa dapat mengembangkan pemahaman yang lebih luas dan inklusif tentang agama di era digital. "Kami berharap materi ini dapat memfasilitasi dialog yang konstruktif dan reflektif di kalangan akademisi dan masyarakat luas," tuturnya.
Sebagaimana dikatakan Denny JA, “Agama Warisan Kultural Milik Kita Bersama.” (*)