Sosial Media
0
HEADLINE NEWS
    Iklan display
    Home Gusti Purbaya Keraton Surakarta KGPH Hangabehi Nasional

    Dualisme Keraton Surakarta Terulang? Hangabehi vs Purbaya Rebut Takhta

    "Dua tokoh Keraton Surakarta sama-sama mengklaim takhta PB XIV, memicu kembali potensi dualisme suksesi di Kasunanan Solo."

    3 min read

    KGPH Hangabehi mengenakan busana keprabon yang menjadi tanda jika dirinya sudah menjadi Pakubuwono XIV. (ISTIMEWA)

    AMANAH INDONESIA, SOLO -- Krisis suksesi kembali mengguncang Keraton Kasunanan Surakarta. Seusai wafatnya Sinuhun Pakubuwono XIII (PB XIII), dua tokoh utama langsung tampil mengklaim sebagai penerus takhta—situasi yang mengingatkan pada dualisme kepemimpinan yang pernah terjadi pada 2004–2017.

    Di satu sisi, Gusti Purbaya, putra bungsu PB XIII, lebih dulu mendeklarasikan diri sebagai SISKS Pakubuwono XIV saat prosesi pemberangkatan jenazah sang ayah. Undangan resmi dan jadwal Jumenengan Dalem pada Sabtu (15/11/2025) pun sudah beredar luas.

    Namun di sisi lain, Lembaga Dewan Adat (LDA) bersama sejumlah sentono dan abdi dalem justru menobatkan putra sulung PB XIII, KGPH Hangabehi, sebagai raja versi mereka. Prosesi itu berlangsung di Sasana Handrawina, Kamis (13/11/2025), dihadiri Maha Menteri KGPA Tedjowulan, LDA, dan kerabat dalem.

    Ketegangan suksesi kembali mencuat.

    Profil KGPH Hangabehi

    KGPH Hangabehi adalah putra tertua PB XIII dari pernikahan dengan KRAy Winari Sri Haryani. Ia lahir di Solo pada 5 Februari 1985 dengan nama kecil Gusti Raden Mas Soerjo Soeharto.

    PB XIII memiliki tujuh anak dari tiga pernikahan. Dari pernikahan kedua lahir tiga anak, yakni KGPH Hangabehi, almarhumah GRAy Sugih Oceania, dan GRAy Putri Purnaningrum.
    Sementara itu, Gusti Purbaya—yang kini juga mengklaim sebagai PB XIV—merupakan putra dari GKR Pakubuwana (Asih Winarni), permaisuri ketiga PB XIII.

    Dulu Bergelar KGPH Mangkubumi

    Sebelum menyandang nama Hangabehi, ia dikenal sebagai KGPH Mangkubumi, salah satu jabatan strategis di lingkungan kepangeranan. Pada 24 Desember 2022, LDA mengganti gelarnya menjadi KGPH Hangabehi, nama yang juga pernah digunakan PB XIII sebelum naik takhta. Perubahan ini dipandang sebagai penegasan bahwa Hangabehi adalah calon penerus berdasarkan garis keturunan.

    Ketua LDA, Gusti Moeng, saat itu menegaskan:

    “Dia anak laki-laki tertua Sinuwun. Harus urut tua. Penetapan putra mahkota sebelumnya bisa batal demi hukum adat dan hukum nasional.”

    Sikap Hangabehi Saat Purbaya Deklarasi

    Hangabehi memilih tidak terlibat ketika Gusti Purbaya mendeklarasikan diri sebagai PB XIV. Ia mengaku keluarga masih dalam masa duka dan suksesi belum layak dibicarakan.

    “Saya malah nggak memikirkan ke situ (deklarasi). Saya fokus mengikuti prosesi mangkat-nya sinuwun sampai pengantaran jenazah,” ujarnya, Jumat (7/11/2025).

    Ia menekankan perlunya musyawarah keluarga besar agar keraton tidak kembali terpecah.

    Penetapan PB XIV Versi LDA

    Dalam forum adat, Kamis (13/11/2025), LDA secara resmi mengesahkan Hangabehi sebagai SISKS Pakubuwono XIV. Penetapan itu dinilai sah karena:

    • Ia putra laki-laki tertua PB XIII

    • PB XIII belum memiliki permaisuri saat naik takhta sehingga garis suksesi mengikuti urut tua

    • Keputusan didukung mayoritas sentono, LDA, dan abdi dalem

    Langkah ini sekaligus membuka kembali potensi fenomena “raja kembar” di Keraton Solo.

    Tedjowulan Mengaku Tak Tahu Agenda Penobatan

    Maha Menteri KGPAA Tedjowulan mengaku tidak mengetahui bahwa pertemuan keluarga pada Kamis siang akan berujung pada penetapan raja.

    Ia menjelaskan undangan yang diterimanya hanya untuk rembug keluarga.

    “Saya dari awal sudah bilang, tunggu 40 hari dulu. Tapi mungkin ada yang tidak sabar,” ujarnya saat jumpa pers di Badran, Solo.

    Menurutnya, penobatan muncul tiba-tiba.

    “Tahu-tahu saya dimintai jadi saksi, memberi restu, lalu ada pengikraran penobatan menjadikan Hangabehi jadi pewaris PB XIII. Saya tidak mengerti ada agenda itu.”

    Ia tetap memberi restu karena menghormati keluarga besar.

    “Saya ini wong tuwek, sesepuh. Ya sudah saya pangestoni saja.”

    Penetapan Raja Harus Lewat Adat, Agama, dan Negara

    Tedjowulan menegaskan bahwa penetapan raja tidak boleh tergesa-gesa dan harus mengikuti mekanisme adat.

    “Contohnya Sri Sultan Hamengku Buwono X itu tujuh bulan baru dinobatkan. Kalau sekarang kesusu-susu, ngoyak apa?”

    Ia berpegang pada masa tunggu 40 hari, bahkan 100 hari jika belum terjadi mufakat.

    “Kalau 40 hari belum rukun ya 100 hari. Yang penting rukun dulu siapa yang pantas.”

    Menurutnya, suksesi hanya sah bila memenuhi tiga unsur:

    “Penetapan raja itu harus lulus dari adat, agama, dan hukum negara.”

    Additional JS