Teori Denny JA dan Pembangunan Berkelanjutan
Menurut Budhy, pendekatan ini tidak hanya menawarkan cara pandang baru dalam memahami agama, tetapi juga memiliki relevansi strategis bagi pembangunan berkelanjutan di era modern.
Budhy bersama Ahmad Gaus baru saja meluncurkan buku berjudul Teori Denny JA Soal Agama dan Spiritualitas di Era AI: Agama Sebagai Warisan Budaya Milik Kita Semua. Buku ini akan menjadi sumber utama untuk modul kuliah di berbagai kampus, membawa teori Denny JA ke ruang kelas.
Budhy mengungkapkan bahwa dalam pemikirannya, Denny JA memoderasi klaim kebenaran mutlak yang sering terkait dengan doktrin keagamaan. Denny lebih menekankan bahwa agama adalah hasil dari evolusi budaya yang terus berkembang.
“Dengan melihat agama sebagai warisan kultural milik bersama, kita dapat membuka ruang yang lebih luas bagi dialog antaragama, pluralisme, dan integrasi nilai-nilai spiritual dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk ekonomi, sosial, dan lingkungan,” kata Budhy.
Pendekatan ini, lanjut Budhy, sejalan dengan agenda Sustainable Development Goals (SDGs) yang diusung oleh PBB. “SDGs adalah upaya kolektif global untuk menciptakan dunia yang lebih adil, sejahtera, dan demokratis. Dengan memahami agama sebagai bagian dari budaya yang hidup dan berkembang, kita dapat lebih efektif menggerakkan komunitas keagamaan dalam mendukung program-program pembangunan berkelanjutan,” ujar Budhy.
Budhy juga menyoroti bagaimana teori agama Denny JA dapat mengakomodasi perubahan sosial yang dipicu oleh globalisasi dan revolusi digital. Di tengah pesatnya perkembangan internet dan media sosial, cara masyarakat mengakses dan mendiskusikan nilai-nilai keagamaan pun turut berubah.
Dengan pendekatan yang lebih fleksibel dan inklusif, agama tidak lagi menjadi sumber eksklusivitas yang membatasi, tetapi justru dapat menjadi jembatan bagi solidaritas sosial yang lebih kuat.
Lebih lanjut, Budhy menyampaikan bahwa teori ini dapat berkontribusi dalam pemberdayaan sosial dan ekonomi berbasis nilai-nilai keagamaan. Sejarah telah menunjukkan bahwa komunitas keagamaan memainkan peran strategis dalam menyediakan layanan kesehatan, pendidikan, hingga perlindungan lingkungan.
“Dengan memahami agama sebagai bagian dari dinamika budaya, maka ajaran-ajaran moralnya dapat diterjemahkan ke dalam tindakan nyata yang berkontribusi bagi kesejahteraan masyarakat luas,” tambah Budhy.
Budhy menilai bahwa Denny JA telah mengembangkan dan menafsirkan ulang wawasan inklusif Nurcholish Madjid dan Djohan Effendi, dengan pendekatan berbasis data empiris. “Denny JA bukan hanya meneruskan pemikiran para guru kami, tetapi juga memperluasnya dengan memadukan analisis keagamaan dan kajian empiris berbasis survei opini publik. Ini pendekatan yang inovatif dan sangat relevan bagi tantangan zaman,” katanya.
Budhy menegaskan bahwa pemahaman agama yang lebih inklusif dan dinamis, sebagaimana digagas oleh Denny JA, dapat menjadi pilar dalam menciptakan dunia yang lebih harmonis dan berkelanjutan. “Jika kita mampu melihat agama sebagai warisan kultural milik bersama, maka kita dapat membangun masa depan yang lebih adil, damai, dan berorientasi pada kesejahteraan bersama,” pungkasnya. (*)