Sosial Media
0
HEADLINE NEWS
    Home TNI AL

    Imparsial: Puspomal TNI Tak Boleh Lindungi Anggota Bermasalah

    1 min read

    IMPARSIAL


    AMANAH INDONESIA, JAKARTA --Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Imparsial, yang berfokus pada pengawasan dan investigasi pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Indonesia, menyerukan agar Polisi Militer Angkatan Laut (Puspomal) tidak melindungi anggota TNI yang diduga terlibat dalam kejahatan terhadap warga sipil.

    Seruan ini menyusul insiden penembakan yang menewaskan seorang pengusaha rental mobil di Rest Area KM 45, Tol Tangerang-Merak pada Kamis (2/1), yang melibatkan oknum anggota TNI AL.

    Konflik Pernyataan Saksi dan Pangkoarmada

    Direktur Imparsial, Ardi Manto Adiputra, menyatakan keprihatinannya terhadap pernyataan Panglima Komando Armada RI, Laksamana Madya TNI Denih Hendrata, yang menyebutkan bahwa penembakan tersebut dilakukan sebagai bentuk pembelaan diri akibat pengeroyokan.

    Namun, pernyataan ini bertentangan dengan kesaksian Agam Muhammad Nasrudin, anak korban yang berada di lokasi kejadian. Agam menyebutkan bahwa tidak ada pengeroyokan dalam insiden tersebut.
    "Sebelum masuk rest area KM 45, kami bahkan telah lebih dulu diancam dengan senjata api oleh pelaku saat mencoba menghentikan mobil rental yang dibawa komplotan pelaku," ujar Agam.

    Ardi menilai pernyataan Pangkoarmada terlalu dini dan dapat melukai perasaan keluarga korban yang sedang mencari keadilan.
    "Puspomal belum meminta keterangan dari keluarga korban dan saksi mata yang melihat langsung kejadian ini," tegasnya.

    Kritik terhadap Sistem Peradilan Militer

    Imparsial menyoroti bahwa sistem peradilan militer kerap dianggap tidak layak untuk menangani tindak pidana umum yang dilakukan oleh anggota TNI.

    "Kasus ini menambah daftar panjang penyalahgunaan senjata api oleh oknum TNI, yang sepanjang tahun 2024 telah menyebabkan tujuh warga sipil tewas dan sepuluh lainnya terluka," ungkap Ardi.

    Selain itu, laporan Imparsial mencatat 27 kasus kekerasan yang dilakukan oleh oknum TNI terhadap warga sipil pada tahun 2024, dengan total 48 korban, termasuk 12 yang meninggal dunia.

    "Bentuk kekerasan meliputi pemukulan/penganiayaan (18 kasus), penembakan (8 kasus), dan satu kasus kekerasan dalam rumah tangga," tambahnya.

    Desakan Reformasi Hukum

    Imparsial mendesak agar anggota TNI yang terlibat dalam tindak pidana umum diproses melalui sistem peradilan umum, sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 65 ayat (2) UU TNI dan TAP MPR No. VII tahun 2000.

    "Meski amanat ini sudah lebih dari 20 tahun diberikan, revisi terhadap UU No. 31 tahun 1997 tentang peradilan militer belum juga dilakukan," kata Ardi.

    LSM ini juga menyerukan komitmen dari Pemerintah dan DPR RI untuk segera mereformasi sistem peradilan militer guna memastikan keadilan bagi korban dan keluarga mereka. (*)

    Additional JS